Aku benci sekali, saat beliau menatapku tajam agar menghentikan
kegiatanku. Saat aku menggerakan kakiku karena bosan dan ia malah
menanyakan sebuah soal yang sulit bagiku. Di Jam pelajarannya, aku lebih
memilih untuk memikirkan hal lain selain angka-angka yang hampir
membuat kepalaku pecah. Tidak pernah kumengerti sama sekali. Aku juga
seringkali menatapnya datar karena terlalu kesal, bagaimana aku bisa
mengerti apa yang tidak kumengerti sama sekali?
Fikiranku seketika berubah saat insiden itu terjadi,
disaat aku terlampau bosan ingin keluar dari pelajaran matematika itu. Sambil memainkan mistar plastik aku memperhatikan tanpa semangat sama sekali. Dan KLAK PRING.. mistar plastik yang sedari tadi kulengkung-lengkungkan pecah berceceran entah kemana. Ia menatapku tajam, memarahiku atas apa yang sekarang terjadi. Dan tidak sampai disitu saja. Saat bel berbunyi, ia mengisyaratkan aku mengikutinya.
‘’Matilah aku..’’ . Mungkin saat itu aku memang menangis, tapi hatiku marah.
Disebuah ruang disekolah itu, ruang yang amat sepi ia menatapku dalam. Menasehatiku tentang apa yang telah kuperbuat, merinci kesalahanku, menjabarkannya dengan kata-kata yang bagiku amat menusuk hati. Sakit sekali..
‘’Kami ada disini untuk membimbing para murid, memberi ilmu padamu. Perhatikan ! dengarkan apa yang aku katakan. Kau harus punya niat , niat untuk mengerti. Lalu kau bisa memahaminya .. Tidak ada yang tidak bisa, kamu itu karena memang tidak berkeinginan. Cukup sukai pelajaran itu, sesulit apapun akan terlewati rintangannya olehmu jika kamu mencoba, bukan mengabaikan. Hormati , sopanlah walau hanya tatapan, jika kau merasa sakit oleh kata-kataku .. aku sudah terlanjur sakit oleh sikapmu’’.
Sekarang, fikiranku bukannya membaik. Melainkan teramat kacau. Di satu sisi aku berkeinginan membela diriku sendiri, tapi sisi itu seperti dirobek dengan kalimat terakhir belau. Aku merasa kata terakhir itu awal dari semuanya. Sikapku, yang benar-benar egois. Seperti perasaanku sekarang, masih saja merasa egois. Mencari satu file untuk dibuat menjadi alasan diotakku lalu mengutarakannya, tapi nihil. Sungguh, aku tidak memiliki apapun lagi untuk dikatakan. Aku sadar bahwa aku hanya beralih memikirkan diriku untuk beribu-ribu kalinya, merinci kesalahanku sendiri dengan terus bertanya kenapa dan terus kenapa. Kenapa aku seegois ini.
Terakhir, mataku menangis, bersama hatiku. Semoga egois ini hilang mengalir bersama air mata, semoga untuk selanjutnya hal ini tidak pernah terulang lagi,
– ditulis akhir tahun 2014.
Fikiranku seketika berubah saat insiden itu terjadi,
disaat aku terlampau bosan ingin keluar dari pelajaran matematika itu. Sambil memainkan mistar plastik aku memperhatikan tanpa semangat sama sekali. Dan KLAK PRING.. mistar plastik yang sedari tadi kulengkung-lengkungkan pecah berceceran entah kemana. Ia menatapku tajam, memarahiku atas apa yang sekarang terjadi. Dan tidak sampai disitu saja. Saat bel berbunyi, ia mengisyaratkan aku mengikutinya.
‘’Matilah aku..’’ . Mungkin saat itu aku memang menangis, tapi hatiku marah.
Disebuah ruang disekolah itu, ruang yang amat sepi ia menatapku dalam. Menasehatiku tentang apa yang telah kuperbuat, merinci kesalahanku, menjabarkannya dengan kata-kata yang bagiku amat menusuk hati. Sakit sekali..
‘’Kami ada disini untuk membimbing para murid, memberi ilmu padamu. Perhatikan ! dengarkan apa yang aku katakan. Kau harus punya niat , niat untuk mengerti. Lalu kau bisa memahaminya .. Tidak ada yang tidak bisa, kamu itu karena memang tidak berkeinginan. Cukup sukai pelajaran itu, sesulit apapun akan terlewati rintangannya olehmu jika kamu mencoba, bukan mengabaikan. Hormati , sopanlah walau hanya tatapan, jika kau merasa sakit oleh kata-kataku .. aku sudah terlanjur sakit oleh sikapmu’’.
Sekarang, fikiranku bukannya membaik. Melainkan teramat kacau. Di satu sisi aku berkeinginan membela diriku sendiri, tapi sisi itu seperti dirobek dengan kalimat terakhir belau. Aku merasa kata terakhir itu awal dari semuanya. Sikapku, yang benar-benar egois. Seperti perasaanku sekarang, masih saja merasa egois. Mencari satu file untuk dibuat menjadi alasan diotakku lalu mengutarakannya, tapi nihil. Sungguh, aku tidak memiliki apapun lagi untuk dikatakan. Aku sadar bahwa aku hanya beralih memikirkan diriku untuk beribu-ribu kalinya, merinci kesalahanku sendiri dengan terus bertanya kenapa dan terus kenapa. Kenapa aku seegois ini.
Terakhir, mataku menangis, bersama hatiku. Semoga egois ini hilang mengalir bersama air mata, semoga untuk selanjutnya hal ini tidak pernah terulang lagi,
– ditulis akhir tahun 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar